Beranda | Artikel
Tauhid Yang Berhubungan dengan Ibadah
Rabu, 20 Maret 2019

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Yahya Badrusalam

Tauhid Yang Berhubungan dengan Ibadah merupakan rekaman kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. dan disiarkan secara langsung dari Sukamakmur pada 12 Jumadal Akhirah 1440 H / 17 Februari 2019 M.

Ceramah Agama Islam Tentang Tauhid Yang Berhubungan Dengan Ibadah – Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc.

Allah Ta’ala itu Tunggal dan Esa. Tidak ada sekutu bagi Allah dalam rububiyahNya, uluhiyahNya, nama-nama dan sifat-sifatNya. Dan Dialah Allah pemilik alam semesta ini. Satu-satunya Dzat yang berhak untuk mendapatkan seluruh macam-macam ibadah. Artinya semua ibadah itu hanya milik Allah, semua macam ibadah itu hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala itu Esa dalam RububiyahNya

Apa yang dimaksud dengan rububiyah? Yaitu perbuatan-perbuatanNya seperti menciptakan, mematikan, menghidupkan, memberikan rezeki, memberikan manfaat, memberikan mudharat, itu semua adalah hak milik Allah saja. Tidak ada satupun makhluk yang mempunyai sifat seperti itu. Tidak ada makhluk yang bisa menciptakan alam semesta, tidak ada makhluk yang bisa memberikan rezeki, tidak ada makhluk yang bisa memberikan manfaat dan mudharat, tidak ada makhluk yang yang bisa menghidupkan dan mematikan, tidak ada makhluk yang mengetahui yang ghaib. Yang mengetahui yang ghaib hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Siapa yang punya keyakinan bahwa selain Allah ada yang mengetahui yang ghaib, maka ia telah jatuh dalam syirik rububiyah. Siapa yang punya keyakinan bahwa selain Allah ada yang bisa memberikan rezeki, maka ia jatuh ke dalam syirik rububiyah. Demikian pula menyembuhkan, itu hanya untuk Allah. Dokter tidak bisa menyembuhkan. Yang bisa menyembuhkan hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka siapa yang punya keyakinan bahwa dokter bisa menyembuhkan, ia telah jatuh dalam syirik rububiyah.

Makanya Nabi Ibrahim berkata:

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ ﴿٨٠﴾

dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku,” (QS. Asy-Syu’ara[26]: 80)

Ini macam yang pertama dari tauhid, yaitu tauhid rububiyah. Yang kedua yaitu tauhid uluhiyah yang merupakan dakwah para Nabi dan Rasul. Bahkan tujuan diciptakannya manusia dan jin dan bahkan seluruh alam semesta ini. Allah megatakan:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku saja.” (QS. Adz-Dzariyat[51]: 56)

Berarti sebatas tauhid rububiyah saja tidak cukup. Sebatas kita mempunyai keyakinan Allah pencipta langit dan bumi, Allah yang memberikan rezeki, Allah yang menghidupkan dan mematikan, tidak cukup. Karena hal seperti ini pun juga diyakini oleh orang-orang Musyrikin Quraisy. Mereka punya keyakinan itu akan tetapi mereka tidak melaksanakan tauhid uluhiyah, mereka tidak mentauhidkan Allah dalam ibadah. Mereka mempersekutukan Allah dalam uluhiyahNya, mereka mengambil tandingan-tandingan selain Allah dalam uluhiyahNya. Dimana mereka meminta syafaat kepada orang-orang shalih yang sudah meninggal dunia. Padahal syafaat itu hanya milik Allah. Allah berfirman:

قُل لِّلَّـهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا

Katakanlah: “Hanya kepunyaan Allah syafa’at itu semuanya.” (QS. Az-Zumar[39]: 44)

Kemudian yang ketiga dari macam tauhid yaitu tauhid asma’ wa sifat yaitu meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna. Dimana nama-nama dan sifat Allah tidak terhingga jumlahnya, hanya Allah yang maha tahu. Maka wajib setiap nama dan sifat yang Allah tetapkan di dalam Al-Qur’an dan hadits wajib kita tetapkan. Dan semua sifat yang Allah tiadakan dalam Al-Qur’an dan hadits wajib kita tiadakan. Adapun nama dan sifat yang Allah tidak tetapkan dan tidak juga Allah tiadakan, maka tidak boleh kita menetapkan, tidak boleh kita apa meniadakannya.

Misalnya Allah menetapkan dalam Al-Qur’an dan hadits bahwa Allah punya mata, maka kita tetapkan Allah punya mata. Namun mata Allah tidak serupa dengan  mata makhlukNya. Karena Allah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ ﴿١١﴾

“Allah tidak serupa dengan apapun juga dan Allah maha mendengar lagi maha melihat” (QS. Asy-Syura[42]: 11)

Sekarang ada pertanyaan, apakah Allah punya mulut? tidak ada dalilnya. Allah punya hidung? tidak ada dalilnya. Allah punya wajah? ada dalilnya. Allah punya telinga? tidak ada dalilnya. Kita tidak boleh menetapkan sesuatu yang tidak ditetapkan oleh Allah dan RasulNya. Karena yang paling tahu tentang Allah adalah Allah. Maka kita tidak boleh menetapkan sifat Allah dengan akal-akal kita semata. Seperti misalnya Allah wajib mempunyai sifat ini, Allah boleh punya sifat ini, Allah mustahil punya sifat ini, maka tentu ini adalah kekurangajaran kita sebagai seorang hamba kepada Allah Rabbul ‘Izzati wal Jalalah.

Dan Allah lah pemilik alam semesta

Langit, bumi, semua yang ada di langit dan di bumi itu milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Dia pemilik langit dan bumi sedangkan kita adalah yang dimiliki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kewajiban kita adalah ridha dengan semua ketentuan Allah. Ridha dengan perintah Allah dan laranganNya, wajib mengikuti.  Karena kita hidup di bumi yang ini bukan milik kita, tapi milik Allah.

Ini kita tinggal di bumi milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Siapa pemilik langit dan bumi kalau bukan Allah Subhanahu wa Ta’ala? Bahan yang memiliki kita, yang menciptakan diri kita adalah Allah. Berarti kita wajib mengikuti aturan-aturan yang Allah tetapkan untuk kita semuanya sebagai seorang makhluk.

Maka Allah satu-satunya Dzat yang berhak untuk mendapatkan seluruh macam-macam ibadah. Seluruh macam ibadah hanya berhak milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Definisi ibadah secara bahasa berarti hina dan tunduk. Jadi hakikat ibadah adalah penghinaan diri kita kepada Allah. Kita menghinakan diri kita kepada Allah disertai dengan ketundukan dan disertai dengan pengagungan dan kecintaan. Maka kalau kita mencintai sesuatu disertai dengan ketundukan, berarti kita sudah ibadah kepadanya.

Kalau ada orang duduk disisi kuburan disebut dengan kuburan wali dengan penuh ketundukan dan rasa cinta, berarti sebetulnya dia sudah ibadah kepada kuburan tersebut . Makanya kata Syaikhul Islam bahwa ibadah harus terpenuhi pada dua perkara tadi. Yaitu cinta dan ketundukan. Cinta tanpa tunduk, tidak disebut ibadah. Tunduk tanpa cinta pun juga tidak disebut ibadah. Disebut ibadah itu apabila ada dua perkara tadi. Yaitu ketundukan dan rasa cinta.

Kita cinta kepada Allah, maka harus disertai dengan ketundukan yang sempurna kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Baru itu disebut dengan ibadah.

Adapun secara istilah syariat, yaitu sebagaimana diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ibadah adalah:

اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والأعمال الظاهرة و الباطنة

Sebuah nama yang mencakup semua yang Allah cintai dan ridhai. Berupa ucapan ataupun perbuatan yang tampak maupun yang tersembunyi.

Beliau mengungkapkan bahwa ibadah adalah nama yang mencakup semua yang Allah cintai dan ridhai. Pertanyaannya adalah dari mana kita tahu sesuatu itu dicintai dan diridhai oleh Allah?

Sesuatu itu dicintai dan diridhai oleh Allah, jalannya hanya satu yaitu wahyu. Sedangkan tidak ada yang diberikan wahyu kecuali Rasul. Karena tidak ada yang mendapatkan wahyu kecuali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, berarti jalan untuk mengetahui sesuatu yg dicintai atau tidak oleh Allah adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Berarti kita tidak boleh menyatakan ini baik kecuali setelah ada wahyu dari Allah melalui lisan Rasulullah.

Bila seseorang berkata, “Menurut saya ini baik.” Maka kita katakan, “Kamu siapa? Apakah kamu mendapat wahyu?”

Sesuatu yang menurut kita baik belum tentu baik disisi Allah. Allah mengatakan:

وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ

Boleh jadi kamu mencintai sesuatu ternyata itu buruk untukmu.” (QS. Al-Baqarah[2]: 216)

Oleh karena itulah, wajib kita didalam masalah ibadah memperhatikan beberapa hal:

Pertama, bahwa ibadah itu bersifat tauqifiyah (menunggu dalil). Kalau ada dalil, laksanakan, tapi kalau tidak ada dalil, jangan sekali-kali. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saja tidak berani membuat sebuah syariat tanpa izin dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau belum ada perintah dari Allah, Rasulullah belum berani melakukannya.

Pernah waktu di Mekkah, Abdurrahman bin ‘Auf datang ke Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sambil membawa pedang dan berkata, “Ya Rasulullah, ayo kita berjihad.” Lalu kata Rasulullah, “Aku belum diperintahkan untuk itu.”

‘Aisyah pernah ditanya oleh seorang wanita, “Kenapa wanita haid wajib mengqadha puasa tapi tidak mengqadha shalat?” Lalu ‘Aisyah berkata, “Karena memang demikian, wanita diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.”

Maka kalau tidak ada perintah, jangan lakukan! Kenapa? Karena ibadah itu hak Allah, bukan hak kita. Karena ibadah itu hak Allah, berarti kita beribadah harus sesuai dengan apa yang Allah cintai dan ridhai. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

Hadits ini tegas menunjukkan bahwa ibadah harus menunggu perintah.

Kedua, pada asalnya ibadah tidak boleh dilakukan dulu sampai ada dalil. Maka dari itu kalau kita merasa ragu, misalnya terhadap sebuah shalat dimana ada sebagian ulama yang mengatakan sunnah, namun ada yang mengatakan bid’ah. Kalau kita masih ragu, maka kita kembalikan kepada yang yakin. Yang yakin, ibadah itu asalnya tidak boleh sampai betul-betul yakin kepada kita dan dalilnya jelas.

Berbeda dengan masalah yang sifatnya dunia. Masalah kebiasaan kita sehari-hari yang sifatnya dunia, kata para ulama pada asalnya halal. Tidak boleh kita haramkan sampai ada dalil.

Oleh karena itu bedakan masalah ibadah dengan masalah dunia. Karena sebagian orang ada yang tidak bisa membedakannya. Disaat kita mengingkari sebagian bid’ah, sebagian orang ada yang berkata, “Kalau ini, berarti mobil bid’ah dong, pesawat bid’ah dong?” Maka kita katakan bahwa mobil masalah dunia, pesawat masalah dunia. Masalah dunia pada asalnya halal, jangan diharamkan sampai ada dalil. Sedangkan ibadah pada asalnya tidak boleh, jangan dulu dikatakan disyariatkan sampai ada dalilnya. Jadi bedakan dua perkara ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS. Al-Baqarah[2]: 29)

Kata para ulama, ini redaksi tentang Allah mengingatkan kenikmatan kepada hambaNya. Dan tidak mungkin Allah mengingatkan kenikmatan dalam perkara yang haram. Berarti itu menunjukkan bahwa yang ada di bumi ini pada asalnya hukumnya halal, tidak boleh diharamkan sampai ada dalil.

Simak penjelasan lengkapnya pada menit ke-18:08

Download mp3 Ceramah Agama Islam Tentang Tauhid Yang Berhubungan Dengan Ibadah – Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc.


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/46860-tauhid-yang-berhubungan-dengan-ibadah/